Thursday, November 14, 2013

Pemberlakuan Syariat Islam Di Aceh Sudah Tepat, Mengapa Di Gugat?

Setelah membaca bahan ajar dan prawacana FUF O9 yang bertemakan tentang Fiqih dan hukum positif Indonesia, penulis jadi teringat dengan diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Betapa tidak? Sebagai WNI yang berdomisili di Aceh, penulis pernah merasakan ketatnya pemberlakuan hukum syariat Islam kala itu. Akan tetapi, akhir-akhir ini banyak sekali lembaga-lembaga kemanusiaan baik didalam maupun diluar negri yang menganggap bahwa penetapan syariat Islam di Aceh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Jika melihat kilas sejarah, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh, terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633).

Pernyataan diatas sebenarnya sudah sangat jelas, bahwa setiap daerah khususnya daerah yang diberikan keistimewaan dalam menetapkan hukum dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Akan tetapi, banyak kalangan yang menggugat pemberlakuan syariat islam di Aceh. Terakhir gugatan datang dari Direktur Asia Pasifik Amnesty Internasional (AI), Sam zarifi dalam keterangannya yang diterima pada hari Ahad (22/5/2011).  Hal ini semakin menambah rintangan dan tantangan kepada penerapan syariat Islam Di Aceh.

Tidak hanya itu, ternyata gugatan juga datang sebelumnya dari pihak luar (non muslim) maupun dari pihak dalam (muslim sekuler) sendiri. Hal ini semakin banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah ada yang salah apabila diberlakukan syariat Islam Di Aceh? dan mengapa harus digugas? Apakah ada yang merasa dirugikan?.

Berdasarkan beberapa pertanyaan di atas, penulis akan mencoba mengupas dan memberiakan penjelasan tentang pemberlakuan syariat islam Di Aceh berdasarkan Fiqih dan hukum positif Di Indonesia. Serta harapannya bias menjadi pelajaran yang dapat dijadikan sebagai renungan kita semua.

Menurut pandangan penulis, bila Syariat islam diberlakukan maka akan mendatangkan kemaslahatan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Hal senada telah terbukti di negara-negara Timur Tegah. seperti, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, Yaman dan Palestina.

Kebebasan menetapkan kebijakan

Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada provinsi Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang.Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan bagi semua masyarakat di Aceh.

Pernyataan serta dilengkapi dengan Undang-Undang keistimewan provinsi Aceh, tentang Otonomi Daerah dan Keistimewaan Provinsi Aceh sebenarnya sudah cukup jelas sebagai gambaran bila pemerintah daerah berhak menentukan berbagai kebijakan demi tercapainya kemajuan dalam berbagai aspek di Aceh tak terkecuali penegakan syariat Islam.

Tujuan Hukuman Dalam Islam

Islam mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas, yaitu hukuman hudud, qishash dan ta’zi,r demi menciptakan kemaslahatan publik dan menolak kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) yaitu dibunuh, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan agama, agar orang tidak mempermainkan agama dengan seenaknya. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) yaitu cambuk delapan puluh kali atau empat puluh kali dan bertujuan untuk menjaga akal agar tetap baik dan sehat. Hukuman zina (had az-zina) yaitu seratus kali cambuk bagi yang belum menikah (ghair muhshan) dan rajam bagi yang sudah menikah (muhshan) bertujuan untuk menjaga nasab dan menghindari dari penyakit yang berbahaya seperti HIV Aids. Hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) yaitu dicambuk delapan puluh kali bertujuan untuk menjaga kehormatan. Hukuman pencurian (had as-sariqah) yaitu potong tangan bertujuan untuk menjaga harta. Dan hukuman pembunuhan dan penganiayaan yaitu qishah (dibunuh atau dianiaya pula) bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.

Dengan penjelasan diatas maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam baik berupa potong tangan, rajam, cambuk dan sebagainya, tidaklah melanggar HAM seperti yang diutarakan Direktur Asia Pasifik Amnesty Internasional (AI) Sam zarifi, justru sebaliknya hukuman tersebut bertujuan untuk melindungi HAM dan memberikan keadilan yang sejati, serta menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Di samping itu tujuan utamanya yaitu untuk memberi efek jera dan pembelajaran sehingga dapat mencegah perbuatan kriminal atau maksiat. Inilah harapan kita semuanya.

Islam dan Tindak Kekerasan


Masih hangat dalam ingatan kita tentang ceramah yang disampaikan oleh Pope Benedictus pada 12 Sepetember 2006 lalu. Dalam ceramahnya yang membahas tentang relasi agama dan akal, ia menukil dialog antara imperatur Bezantium Emanuel II dengan  seorang pemikir Persia (kini Iran-red) yang terjadi pada tahun 1391 M berkaitan dengan Islam dan Kristen.  Ceramah yang menimbulkan reaksi beragam, antara pro dan kontra. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang kafir tidak senang melihat kejayaan Islam, salah satunya  pemberlakuan syarat Islam Di Aceh. Firman Allah (Al-Anfal [8] 60);

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ  يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ (60
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya: sedang Allah mengetahuinya, apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

Pada ayat ini Allah memerintahkan kita untuk selalu waspada dan tegas terhadap musuh yang senantiasa berusaha untuk menghancurkan kaum muslimin. Cara kita untuk menghadapi mereka adalah dengan mempersiapkan segala sesuatu yang kita mampu. Hal tersebut dapat berupa kekuatan akal, anggota tubuh, dan berbagai jenis persenjataan dan yang semisalnya yang dapat membantu untuk menghadapi musuh. Titik pendalilan di sini adalah persiapan kekuatan untuk pembelaan diri dan keberanian dalam menghadapi musuh.

Atas dasar ini pula  dapat dijelaskan bahwa Islam sebagai agama yang ajarannya didasari oleh ideologi dan pandangan dunia ketuhanan terhadap Sang Pencipta alam semesta Yang Maha Esa pun tidak terlepas dari beberapa konsep tindak kekerasan, jihad sebagai contoh konkritnya. Atas dasar itu pula maka tolok ukur legalitas kekerasan dalam kaca mata Islam hanya bertumpu kepada konsep ke-Esa-an Tuhan (tauhid) dengan berbagai konsekuensinya termasuk Tuhan sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum, termasuk menentukan hukum jihad. Konsep tauhid inilah yang didukung oleh argumen sejarah, teks, fitrah dan akal sehat manusia, bukan konsep monoteis yang telah terpolusi dengan polyteis seperti pada doktrin Trinitas yang tidak memiliki dasar sejarah, teks ataupun rasio sehat manusia.

Kesimpulan
Banyak lembaga-lembaga dan sebagian kalangan yang dengan pemikiran pendeknya menganggap sesuatu yang baik itu buruk. Padahal bila dikaji lebih dalam, hal yang dikaji bisa mendatangkan sesuatu yang sangat berguna. Begitu pula Pemberlakuan Syariat Islam khususnya Di Aceh, bila Syariat islam diberlakukan bukan melanggar HAM seperti yang diutarakan Sam zarifi Direktur Asia Pasifik Amnesty Internasional (AI), tetapi justru sebaliknya Syariat dan hukum islam akan mendatangkan kemaslahatan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh semua lapisan masyarakat.

Sumber:
  1. Wikipedia, “Daerah Khusus”, di http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_khusus (diunduh 26 Maret 2012)
  2. Sam zafiri,”hukum cambuk melanggar HAM”, di http://www.hidayatullah.com/read/17217/26/05/2011/ketika-syariat-islam-di-aceh-mulai-digugat!.html (diunduh 26 Maret 2012)
  3. Hidayatullah, “Syariat Islam”, di http://www.hidayatullah.com/read/17217/26/05/2011/ketika-syariat-islam-di-aceh-mulai-digugat!.html (diunduh 26 Maret 2012)
  4. Al-Shia,”Islam dan Tindak Kekerasan”, di http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/007.htm (diunduh 27 Maret 2012)
  5. Idii.info, “Jihad”, di  http://ldii.info/ayat-ayat-jihad-dalam-al-quran.html (diunduh 27 Maret 2012)

No comments :

Post a Comment